Sejarah Partangiangan Borsak Mangatasi Nababan-Boru-Bere
Tahun 1952 ada seorang tokoh Nababan bernama Theophulus Nababan (+), Victoria Br. Tompul (+), Lingse Br. Tompul (Sijabujabu). Beliau buka usaha toko bahan pertanian di Siborong-borong.
Tokonya sangat laris dan dikenal banyak orang, terutama keturunan Toga Sihombing:
- Borsak Junjungan, Silaban
- Borsak Sirumonggur, Lumbantoruan
- Borsak Mangatasi, Nababan
- Borsak Binbingan, Hutasoit
Beliau sangat memperhatikan hasil tani keturunan Toga Sihombing yang sangat bagus, tapi berbeda dengan hasil tani Nababan. Padahal dengan cara bercocok tanam dan pupuk yang sama, obat hama yang sama, tapi hasil tani Nababan selalu ketinggalan/kurang berhasil dibandingkan dengan hasil tani abang dan adeknya (Silaban, Sihombing, dan Hutasoit). Begitu juga dengan hasil ternak yang kurang berhasil dan selalu penyakitan (bondilon).
Beliau juga merenungkan nasib keturunan Borsak Mangatasi, yang selalu ketinggalan di bidang kemajuan, pendidikan, pangkat, dan jabatan dibandingkan dengan keturunan abang dan adeknya.
Kalau ada Nababan yang mau melanjutkan sekolah ke SMA apalagi mau ke tingkat kuliah, selalu ada halangan, seperti diserang penyakit, contoh Prof. Sahala Nababan yang hampir meninggal setelah lulus SMA. Bahkan ada beberapa orang keturunan Nababan yang sampai meninggal ketika mau melanjutkan sekolah, atau mau naik jabatan di tempat kerjanya.
Kalaupun ada dari Nababan yang sudah bekerja, selalu terhalang untuk naik jabatan, malah ada yang meninggal di masa muda. Masih banyak yang lain ketinggalan Nababan.
Beliau (Sijabujabu) selalu merenungkan dengan hati yang sangat sedih, nasib Nababan. Di tahun 1955, beliau mengutarakan perasaannya ini kepada beberapa tokoh Nababan yang berkunjung ke tokonya. Mereka sama-sama merasakan kesedihan itu.
Akhirnya beliau mengumpulkan tokoh Nababan yang ada di sekitar Tapanuli, diantaranya:
- Petrus Nababan.
- Pangarambang.
- Kappung Sabam.
- Nab. Partokko Dampurna.
- Gr. Jhonatan Nab.
- B.P. Nababan.
- Dinamala Nababan.
- …dst.
Mereka semua sepakat untuk mengumpulkan/memanggil semua tokoh Nababan yang ada di seluruh desa/kota, seperti dari Medan, Aceh, Dairi, Riau, Pahae, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, dan yang lain. Semuanya mendapat kartu anggota.
Mereka berkumpul dan sepakat dengan pemikiran Amang Theophulus (Sijabujabu) agar semua keturunan marga Nababan berdoa bersama-sama di Siborong-borong untuk memohon kepada Tuhan, agar dosa Borsak Mangatasi khususnya dosa Sandar Nagodang dan Tuan Sirumonggur diampuni Tuhan. Keangkuhan, kesombongan, kelicikan, perkelahian, iri hati, kedengkian, permusuhan di antara Nababan, dll… diampuni Tuhan.
Dulu sampai ada istilah Nababan Dolok dan Nababan Toruan.
Oppung kita Tuan Sirumonggur sangat hormat dan sayang sama abangnya Op. Sandar Nagodang. Ketika Op. Sandar Nagodang bermasalah dengan marga Sibagot Ni Pohan di desa Sipahutar Tapanuli Utara, Op. Sandar Nagodang ditahan (dikurung) di sana.
Beberapa kali Op. Tuan Sirumonggur berusaha untuk membebaskan abangnya Op. Sandar Nagodang, tapi Sibagot Ni Pohan tetap tidak mau membebaskan Sandar Nagodang.
Op. Tuan Sirumonggur mau menebus abangnya dengan berapa pun, tapi Sibagot Ni Pohan tetap tidak mau membebaskan Op. Sandar Nagodang. Sampai Op. Tuan Sirumonggur mau menukar dengan nyawanya sendiri, tapi tetap Sibagot Ni Pohan menginginkan nyawa Op. Sandar Nagodang.
Akhirnya Op. Sandar Nagodang menyuruh adeknya pulang, dengan pesan agar pomparan Op. Sandar Nagodang jangan membuat sumannya (patungnya), makanya sampai sekarang tidak ada tugu/patung Op. Sandar Nagodang. Akan tetapi, tugu/patung Tuan Sirumonggur ada di Sitabo-tabo, Siborong-borong sampai sekarang.
Akhirnya Op. Sandar Nagodang wafat di Desa Sipahutar. Konon ceritanya, darah Op. Sandar Nagodang menjadi air kolam. Sampai sekarang ada Kolam Nababan di Sipahutar Tapanuli Utara. Dalam pertemuan tokoh Nababan dengan Amang Sijabujabu, belum ditentukan waktunya, tanggal berapa, jam berapa, dan di mana lokasi tempat berdoa.
Pada suatu malam Amang Theophulus (Sijabujabu) duduk berdoa, beliau seperti dapat wahyu dari Tuhan melalui Roh Borsak Mangatasi untuk menentukan tanggal dan jam berapa, serta di mana lokasinya. Beliau dapat wahyu agar semua keturunan marga Nababan dan Boru, berkumpul berdoa bersama di satu tempat (belum ikut Bere dan Ibebere). Berdoa untuk meminta ampun kepada Tuhan.
Pada tanggal 13 Oktober 1955 jam 10 pagi di Jl. Sadar, Siborongborong dilakukanlah kebaktian dan doa bersama, ditentukan toktok ripe sebesar Rp. 29,- per KK, dan semua tokoh Nababan yang hadir dikasih kartu anggota.
Mereka berkumpul berdoa dan makan bersama. Mereka duduk di tikar dan membawa nasi dan piring masing-masing. Panitia hanya menyiapkan daging dan huahua (air rebusan daging).
Setelah mereka selesai berdoa bersama, orang tua kita sepakat agar semua keturunan marga Nababan dimanapun berada bisa melakukan doa bersama tiap tahun tanggal 13 Oktober dimanapun berada.
Pada awalnya tahun 1956, 1957, 1958, mereka melakukan doa bersama di Siborongborong. Akan tetapi, mulai tahun 1960, keturunan marga Nababan berdoa bersama di setiap desa masing-masing.
Tapi di pagi hari tiap tanggal 13 Oktober, ada rombongan dari Siborongborong membawa toa, berkeliling ke desa-desa untuk mengingatkan agar semua keturunan marga Nababan, anak-anak dan orang dewasa harus berkumpul berdoa bersama di desa masing-masing, semua anak sekolah diliburkan pada hari itu.
Tahun 1985 (partangiangan ke-30 tahun) dilakukan lagi doa bersama Nababan, Boru, Bere se-Indonesia di Siborongborong. Pada waktu itulah diresmikan perbaikan tarombo (nomor sundut).
Tahun 1989 dilakukan Parriaan Bolon (pemilihan Ketua Nababan) di Silangit, terpilihlah: Ketua Umum: Nab. Partokko Sampurna.
Sekjend: Tarianus Nababan.
Tahun 2005 (partangiangan yang ke-50 tahun) dilakukan partangiangan bersama di Siborongborong Jln. Tarutung, yang dipimpin Pdt. Dr. S.A.E. Nababan.
Bendahara panitia (Amang Nab. Parmanuk) menyiapkan makanan untuk 11.000 orang. Ternyata yang datang diperkirakan 21.000 orang, termasuk dari Lampung, Palembang, Bengkulu, Jakarta, Pekanbaru, Aceh, dan yang lain. Semua makanan yang ada di lapo/rumah makan sekitar Siborongborong dan Tarutung, diborong untuk peserta partangiangan, akhirnya semua peserta bisa makan dan bersukacita. Tidak ada yang bersungut-sungut.
Waktu itu juga datang hujan sangat deras, tapi mujizat Tuhan melalui doa Amang SAE Nababan, bisa makan dan aman semua karena hujan pun tiba-tiba berhenti hanya di tempat itu. Sementara di sekitar sekelilingnya, tetap hujan deras. Demikianlah pesan dari orang tua kita yang dahulu, kita lakukan sekarang setiap tanggal 13 Oktober di tiap desa dan kotanya masing-masing.
Puji Tuhan, sekarang kita merasakan berkat Tuhan kepada seluruh keturunan Nababan, Boru, Bere, dan Ibebere, sudah banyak yang bisa jadi sarjana, sampai pendidikan S3/Profesor, pangkat sampai Jenderal. Ada juga menjadi Anggota DPR RI, DPRD Propinsi, dan DPRD Kota/Kabupaten. Ada juga pengusaha sukses, dll.
Marilah kita semua keturunan marga Nababan, mengikuti jejak opung kita yang mau merenungkan dosa dan perbuatan kita yang salah kepada Tuhan dan kepada semua orang dan minta ampun kepada Tuhan (jangan ada rasa angkuh, suka berkelahi/bermusuhan, sirik, dan hati dengki). Banyak cerita, marga Nababan dan Boru Nababan yang merasa sepele atau meremehkan Partangiangan 13 Oktober mengalami hidup yang susah.
Marilah kita saling merendahkan diri, saling menghargai dan saling menghormati sesama saudara kita.
Manat Mardongan Tubu.
Somba Marhula Hula.
Elekt Marboru.
Demikian sedikit yang bisa saya sampaikan kepada kita, tentang sejarah Partangiangan Nababan, Boru, Bere, tahun 1955.