Jakarta, LOGIC.co.id – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengkritik keras vonis ringan terhadap terdakwa korupsi tata niaga komoditas timah, Harvey Moeis. Ia membandingkannya dengan hukuman berat berupa penjara seumur hidup yang dijatuhkan kepada Benny Tjokrosaputro dalam kasus korupsi Asabri dan Jiwasraya.
“Coba Anda ambil contoh, Benny Tjokro. Hukumannya seumur hidup, asetnya dirampas,” ujar Mahfud di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (26/12/2024).
Mahfud menyoroti bahwa Harvey, yang diduga merugikan negara hingga Rp300 triliun, hanya dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara, denda Rp1 miliar, serta uang pengganti sebesar Rp210 miliar. Sebaliknya, Benny yang terbukti merugikan negara Rp22,78 triliun dalam kasus Asabri dan Rp16,8 triliun dalam kasus Jiwasraya, harus menerima hukuman penjara seumur hidup. “Ini sungguh tidak adil”
Mahfud menganggap hukuman untuk Harvey sangat tidak proporsional. Menurutnya, uang pengganti sebesar Rp210 miliar dari total kerugian Rp300 triliun hanya mencapai 0,07 persen, atau bahkan kurang dari setengah persen.
“Rp210 miliar dari Rp300 triliun itu berapa? 0,07 persen. Tidak sampai setengah persen. Anda bayangkan itu,” tegasnya.
Mahfud juga menyoroti kasus lain, seperti Henry Surya dalam kasus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya, yang merugikan negara Rp106 triliun. Dalam kasus ini, Mahkamah Agung (MA) akhirnya menjatuhkan hukuman 18 tahun penjara kepada Henry.
Vonis Harvey Moeis Dikritik sebagai Tidak Proporsional
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menyatakan Harvey bersalah atas kasus korupsi tata niaga komoditas timah dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Namun, hakim menilai tuntutan jaksa yang meminta 12 tahun penjara dianggap terlalu berat.
“Menimbang bahwa tuntutan pidana penjara selama 12 tahun terhadap terdakwa Harvey Moeis, majelis hakim mempertimbangkan tuntutan tersebut terlalu berat jika dibandingkan dengan kesalahan terdakwa sebagaimana kronologis perkara,” kata Hakim Eko dalam sidang, Senin (23/12/2024).
Kritik terhadap Putusan Hakim
Mahfud menilai alasan hakim untuk memberikan vonis lebih ringan kepada Harvey kurang masuk akal, terutama jika melihat kerugian yang ditimbulkan. Harvey dianggap tidak memiliki kedudukan struktural di PT Refined Bangka Tin (RBT), perusahaan tempat korupsi tersebut terjadi. Namun, Mahfud tetap mempertanyakan keadilan dalam putusan ini.
“Kerugian kasus timah mencapai Rp300 triliun. Hukumannya 6,5 tahun, denda Rp1 miliar, dan uang pengganti hanya Rp210 miliar. Sementara itu, kasus lain dengan nilai kerugian lebih kecil mendapatkan hukuman yang jauh lebih berat. Di mana letak keadilannya?” ungkap Mahfud.
Kasus ini mencuatkan kembali isu kesenjangan dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia. Mahfud MD mengingatkan bahwa perbedaan hukuman yang mencolok ini dapat melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.