Jakarta, LOGIC.co.id – PT Timah Tbk mengambil langkah berani dengan menggugat Pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Nomor 31 Tahun 1999 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini diajukan karena perusahaan menilai hukuman yang dijatuhkan kepada Harvey Moeis dan kawan-kawan dalam kasus korupsi tambang timah ilegal terlalu ringan dibandingkan kerugian negara yang mencapai Rp271 triliun. “Norma ini harus diubah agar pidana tambahan uang pengganti setara dengan kerugian negara yang ditimbulkan,” tulis PT Timah dalam permohonan bernomor 29/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025, dari laman MK, Rabu (12/3/2025).
Dalam petitumnya, PT Timah meminta MK merevisi makna pasal tersebut. Saat ini, Pasal 18 ayat 1 huruf b UU Tipikor menyebutkan bahwa pidana tambahan uang pengganti maksimal hanya sebesar harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Namun, PT Timah ingin agar koruptor wajib mengganti seluruh kerugian negara, baik kerugian keuangan maupun perekonomian, akibat ulah mereka. “Sepanjang tidak dimaknai bahwa uang pengganti harus mencerminkan kerugian negara yang sesungguhnya,” demikian bunyi permohonan tersebut.
Harvey Moeis dan Ketimpangan Hukuman
Kasus korupsi tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah periode 2015-2022 menjadi sorotan utama dalam gugatan ini. PT Timah menyinggung Harvey Moeis dan sembilan terdakwa lainnya yang hanya diwajibkan membayar uang pengganti Rp25,4 triliun, padahal kerugian negara ditaksir mencapai Rp271,069 triliun. “Hukuman ini sangat jomplang dengan dampak nyata yang ditimbulkan,” tulis PT Timah dalam dokumen yang diakses pada 12 Maret 2025.
Menurut PT Timah, ketidaksesuaian ini mencerminkan kegagalan Pasal 18 ayat 1 huruf b UU Tipikor dalam menciptakan keadilan. “Negara harus menegakkan hukum secara adil dan merata. Para terdakwa seharusnya bertanggung jawab penuh atas kerusakan lingkungan dan kerugian ekonomi yang ditimbulkan,” tegas permohonan tersebut. Kerugian Rp271 triliun ini terutama berasal dari dampak penambangan timah ilegal yang menghancurkan lingkungan di wilayah IUP PT Timah.
Keadilan Hukum di Ujung Tanduk?
PT Timah berargumen bahwa penerapan pasal tersebut saat ini justru melemahkan kepastian dan keadilan hukum. “Akibatnya, tidak ada pemulihan nyata atas kerugian negara, baik dari sisi keuangan maupun perekonomian, termasuk kerusakan lingkungan yang masif,” bunyi dokumen tersebut. Perusahaan menilai, hukuman yang ada gagal memaksa pelaku korupsi mengganti kerugian sebesar Rp271,069,688,018,700 yang telah dihitung jaksa.
Gugatan ini menjadi sinyal kuat bahwa PT Timah ingin mendorong perubahan sistemik dalam penegakan hukum korupsi di Indonesia. Apakah MK akan mengabulkan permohonan ini dan mengubah paradigma sanksi bagi koruptor? Publik kini menanti putusan yang bisa menjadi tonggak baru dalam pemberantasan korupsi.