Jakarta, LOGIC.co.id – Sidang dugaan suap terkait vonis bebas Gregorius Ronald Tannur, terdakwa kasus pembunuhan, mengungkap fakta baru yang mencengangkan. Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Senin (3/3/2025), hakim Mangapul, salah satu hakim yang memvonis bebas Ronald Tannur, mengungkapkan adanya pembagian “uang terima kasih” senilai 140.000 dolar Singapura (setara Rp1,66 miliar dengan kurs Rp11.900). Uang tersebut juga melibatkan eks Ketua Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rudi Suparmono, yang meminta jatah dengan pesan, “Jangan lupa aku.”
Pengakuan Hakim Mangapul di Sidang
Mangapul bersaksi dalam sidang yang menjerat pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat, ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja, dan eks pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, atas dugaan suap dan gratifikasi. Menurut Mangapul, uang 140.000 dolar Singapura tersebut berasal dari Lisa Rachmat dan diterima hanya dua hari sebelum putusan bebas Ronald Tannur dibacakan pada Juli 2024.
Mangapul mengungkapkan bahwa ketua majelis hakim kasus Ronald Tannur, Erintuah Damanik, menceritakan bahwa Rudi Suparmono berulang kali meminta bagian atas perannya dalam menunjuk majelis hakim. “Menurut Pak Erin, sejak kami ditunjuk oleh Pak Rudi melalui Wakil Ketua PN Surabaya, Pak Rudi bilang, ‘Eh, jangan lupa aku,'” ungkap Mangapul di ruang sidang. Rudi disebut mengulangi permintaan ini dalam beberapa pertemuan, termasuk saat dilantik sebagai Ketua PN Jakarta Pusat dan dalam acara pernikahan anak Wakil Ketua PN Surabaya, Dju Johnson Mira Mangngi.
Atas permintaan tersebut, Erintuah menyisihkan 20.000 dolar Singapura (sekitar Rp238 juta) untuk Rudi Suparmono. Selain itu, 10.000 dolar Singapura (sekitar Rp119 juta) dialokasikan untuk panitera pengganti, Siswanto. Sisa uang dibagi di antara majelis hakim: Erintuah menerima 38.000 dolar Singapura (sekitar Rp452,2 juta), sementara Mangapul dan hakim lainnya, Heru Hanindyo, masing-masing mendapat 36.000 dolar Singapura (sekitar Rp428,4 juta).
Konteks Suap dan Vonis Bebas Ronald Tannur
Kasus ini bermula ketika Ronald Tannur, anak mantan anggota DPR RI, divonis bebas oleh PN Surabaya pada Juli 2024 dalam kasus pembunuhan kekasihnya, Dini Sera Afrianti. Putusan tersebut memicu kontroversi dan dugaan adanya suap. Lisa Rachmat didakwa memberikan suap kepada tiga hakim PN Surabaya Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo agar mereka membebaskan Ronald dari dakwaan jaksa. Uang suap tersebut diduga bersumber dari Meirizka Widjaja, ibu Ronald Tannur.
Total suap yang diterima ketiga hakim mencapai Rp1 miliar dan 308.000 dolar Singapura (setara Rp3,67 miliar), sebagaimana diungkap dalam sidang dakwaan pada Desember 2024. Selain suap di tingkat PN Surabaya, Lisa juga didakwa melakukan pemufakatan jahat untuk menyuap ketua majelis kasasi MA, Soesilo, agar putusan bebas Ronald tetap dipertahankan di tingkat kasasi. Namun, pada Oktober 2024, MA membatalkan vonis bebas tersebut, meskipun Soesilo memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion).
Rudi Suparmono Jadi Tersangka
Rudi Suparmono, yang menjabat sebagai Ketua PN Surabaya pada 2022-2024, kini telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Ia diduga berperan dalam menunjuk majelis hakim yang mengadili perkara Ronald Tannur berdasarkan permintaan Lisa Rachmat melalui perantara Zarof Ricar. Selain jatah 20.000 dolar Singapura yang diungkap Mangapul, Rudi juga disebut menerima 43.000 dolar Singapura (sekitar Rp511,5 juta) langsung dari Lisa, serta sejumlah gratifikasi lainnya, termasuk dalam bentuk dolar Singapura, ringgit Malaysia, yen Jepang, euro, dan riyal Saudi. Rudi ditahan sejak 14 Januari 2025, dan masa tahanannya telah diperpanjang hingga April 2025 untuk keperluan penyidikan.
Sistemiknya Mafia Peradilan
Kasus ini menambah sorotan terhadap sistem peradilan di Indonesia. Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fikar Hadjar, menyebut kasus suap Ronald Tannur sebagai bukti nyata adanya mafia peradilan yang sistemik. “Sindikalisme lama ‘kasih uang, habis perkara’ benar-benar nyata,” ujar Fickar pada Januari 2025. Ia menyoroti pola pembagian uang suap yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari ketua pengadilan, hakim, hingga panitera. Fickar juga menduga uang suap yang mencapai Rp1 triliun lebih dari Zarof Ricar merupakan titipan para hakim aktif untuk menghindari pelacakan melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Fickar menekankan perlunya reformasi internal di Mahkamah Agung, termasuk pembersihan unsur-unsur korup dan rekrutmen hakim yang lebih selektif untuk mencegah praktik serupa. Namun, banyak pihak meragukan efektivitas upaya ini, mengingat kasus-kasus suap peradilan terus berulang tanpa tanda-tanda perbaikan sistemik yang signifikan.