Tokyo, LOGIC.co.id – Pemerintah Jepang resmi merevisi undang-undang tentang Bantuan Pembangunan Resmi (ODA) untuk meningkatkan efisiensi serta menarik lebih banyak partisipasi sektor swasta dalam proyek pembangunan di negara-negara berkembang.
Revisi undang-undang yang mulai berlaku pada Kamis (17/4) itu memberikan kewenangan lebih besar kepada Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA), termasuk kemampuan untuk membeli obligasi dan memberikan jaminan kredit dalam mendukung proyek-proyek yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
ODA Jadi Alat Dorong Investasi Swasta
Perubahan besar dalam kebijakan ODA Jepang ini dilakukan menyusul terbatasnya anggaran pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pembangunan global yang terus meningkat. Dalam skema baru ini, JICA kini dapat:
- Membantu penerbitan obligasi oleh perusahaan di negara berkembang.
- Membeli obligasi pada tahap awal untuk menarik minat investor swasta.
- Memberikan jaminan kredit kepada bank lokal, agar dapat menyalurkan dana ke usaha kecil dan sektor penting lainnya.
Langkah ini mencerminkan strategi baru Jepang untuk menjadikan ODA sebagai alat pendorong investasi swasta, terutama dalam proyek pembangunan berkelanjutan dan penanganan isu global seperti:
- Perubahan iklim
- Kemiskinan
- Hak asasi manusia
Tantangan Fiskal Dorong Efisiensi ODA
Menurut data pemerintah, kondisi ekonomi Asia saat ini masih berada dalam tekanan fiskal. Utang publik kawasan telah mencapai lebih dari dua kali lipat total produk domestik bruto (PDB).
Anggaran awal ODA Jepang sendiri mengalami penurunan drastis, dari nilai tertinggi pada 1997 menjadi 566,4 miliar yen (sekitar Rp67 triliun) untuk tahun fiskal 2025. Karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih fleksibel dan strategis dalam penggunaan dana bantuan tersebut.
Fleksibilitas Baru bagi JICA
Dalam undang-undang yang telah direvisi ini, JICA memperoleh fleksibilitas dalam hal pengelolaan keuangan. Kini, lembaga itu diperbolehkan:
- Menerima pinjaman jangka panjang dari lembaga keuangan internasional,
- Mengembalikan dana dari proyek hibah yang dibatalkan,
- Mengalihkan dana ke proyek bantuan lain yang lebih tepat sasaran.
Sampai Maret 2024, tercatat masih ada dana sebesar 156,1 miliar yen yang belum dibayarkan meski telah dialokasikan oleh Kementerian Luar Negeri Jepang. Keterlambatan ini dipicu oleh berbagai faktor, termasuk:
- Ketidakstabilan politik di negara penerima,
- Dampak pandemi COVID-19,
- Bencana alam, dan kendala administratif lainnya.
ODA sebagai Alat Diplomasi Strategis
Pemerintah Jepang menyebut ODA sebagai “alat diplomasi paling penting”, khususnya dalam menjaga stabilitas kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka, sekaligus sebagai upaya menyeimbangkan pengaruh ekonomi dan militer yang kian kuat dari China.
Dengan fokus baru yang lebih kolaboratif antara pemerintah dan sektor swasta, Jepang berharap ODA dapat menjadi katalis bagi pembangunan inklusif dan berkelanjutan di masa depan.