Berita  

Kasus Dugaan Kekerasan Seksual di UNHAS: Korban Disudutkan, Pelaku Dosen Dinonaktifkan

Ilustrasi kekerasan seksual (Foto: Gramedia)

LOGIC.co.id – Kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan seorang dosen Universitas Hasanuddin (UNHAS), Makassar, kembali menjadi sorotan. Seorang mahasiswi mengaku menjadi korban pelecehan saat menjalani bimbingan skripsi pada September 2024. Insiden ini memicu demonstrasi mahasiswa dan desakan untuk pemberian sanksi tegas kepada pelaku.

Tindakan Awal: Dosen Dinonaktifkan dan Diskors

Pihak UNHAS langsung mengambil tindakan dengan menonaktifkan dosen tersebut dari jabatan akademiknya. Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UNHAS, Prof. Dr. Farida Patittingi, menjelaskan bahwa pelaku dikenakan sanksi berat berupa skorsing selama tiga semester, termasuk pemberhentian dari jabatan sebagai Ketua Gugus Penjaminan Mutu.

“Secara keseluruhan, haknya sebagai dosen diberhentikan sementara hingga satu setengah tahun,” ungkap Farida pada Senin (18/11).

Namun, pendamping korban dan mahasiswa UNHAS menganggap sanksi tersebut terlalu ringan. Demonstrasi pun digelar sebagai bentuk solidaritas dan mosi tidak percaya kepada Satgas PPKS.

Rekomendasi Sanksi Lebih Berat

Pada Jumat (29/11), Satgas PPKS UNHAS mengusulkan pemberhentian tetap dosen tersebut sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun, keputusan akhir berada di tangan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

“Kami merekomendasikan pemberhentian tetap kepada rektor. Surat rekomendasi sudah diteruskan ke menteri,” ujar Farida.

Reaksi Pendamping Korban dan Mahasiswa

Pendamping korban, Aflina Mustafainah, mengkritik langkah kampus. “Jika skors hanya tiga semester, lalu dosen ini kembali mengajar, itu tidak memberikan rasa aman bagi mahasiswa,” tegasnya.

Senada, seorang mahasiswa UNHAS bernama Imo menyatakan bahwa banyak kasus serupa yang tidak diselesaikan dengan baik di kampus. “Ini menunjukkan minimnya komitmen kampus dalam melindungi mahasiswa,” ujarnya.

Insiden Pembakaran di Fakultas Ilmu Budaya

Puncak ketegangan terjadi pada Kamis (28/11) malam, ketika terjadi pembakaran di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) oleh orang tidak dikenal. Sebanyak 32 mahasiswa diamankan polisi untuk dimintai keterangan. Hingga kini, pihak kepolisian masih mendalami motif kejadian tersebut.

Kasat Reskrim Polrestabes Makassar, Kompol Devi Sujana, menyatakan bahwa belum ada bukti yang mengaitkan mahasiswa dengan pembakaran tersebut. “Kami masih melakukan pendalaman,” katanya.

Satgas PPKS Dianggap Reviktimisasi Korban

Kasus ini semakin ramai di media sosial setelah beredar percakapan antara korban dan anggota Satgas PPKS UNHAS. Dalam percakapan tersebut, korban merasa disudutkan karena langkahnya mengungkap kasus ke media dianggap merugikan pelaku.

“Dipecat pun, trauma tidak akan hilang,” ujar anggota Satgas tersebut dalam percakapan yang dikonfirmasi oleh Ketua Satgas PPKS.

Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, mengecam pernyataan tersebut. “Reviktimisasi seperti ini tidak seharusnya terjadi. Anggota Satgas mestinya memberikan dukungan kepada korban, bukan memperparah traumanya,” jelas Alimatul.

Tren Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi terus meningkat. Tren ini terjadi karena semakin banyak korban yang berani melapor, terutama setelah diberlakukannya Peraturan Menteri Pendidikan No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).

“Bukan berarti kasus meningkat, tetapi kesadaran untuk melapor yang bertambah,” ujar Alimatul.

Kondisi Korban Saat Ini

Korban kini melanjutkan aktivitas akademiknya, meski masih dibayangi trauma. “Dia tidak ingin ada korban lain. Keinginannya adalah melindungi orang lain dari kejadian serupa,” ujar Aflina, pendamping korban.

Tim pendamping korban bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk memproses kasus ini ke jalur hukum.

Langkah Selanjutnya

Sementara rektorat UNHAS telah menghentikan sementara seluruh kegiatan tatap muka di kampus hingga 1 Desember, perhatian kini tertuju pada keputusan menteri terkait nasib pelaku.

Kasus ini menjadi pengingat pentingnya perlindungan bagi korban kekerasan seksual dan penegakan keadilan di lingkungan pendidikan.