Gen Z Hadapi Pasar Kerja Suram, Ketakutan akan AI dan Resesi Dorong Kenaikan Minat Kuliah

LOGIC.co.id – Kekhawatiran terhadap resesi ekonomi serta pasar kerja yang semakin tidak menentu mendorong banyak anak muda di Amerika Serikat kembali melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana. Fenomena ini mencerminkan pola klasik yang kerap muncul saat krisis ekonomi: ketika lowongan pekerjaan menyusut, pendidikan lanjutan menjadi jalan keluar.

Beberapa lembaga konsultan penerimaan mahasiswa seperti Kaplan, Ivy Coach, IvyWise, Top Tier Admissions, dan Cambridge Coaching melaporkan lonjakan minat terhadap program-program pascasarjana. Meski data resmi belum dirilis, banyak pihak di industri pendidikan meyakini bahwa tahun 2025 akan menjadi salah satu musim penerimaan paling sibuk.

- Advertisement -

“Pengaruh nomor satu yang membuat mahasiswa mempertimbangkan kuliah pascasarjana adalah resesi atau ketidakpastian ekonomi,” ujar Jayson Weingarten, konsultan senior penerimaan di Ivy Coach, dikutip dari Bloomberg.
“Mahasiswa melihat ini sebagai cara untuk ‘relaunch’ karier mereka ketika pasar kerja kembali membaik.”

Angka Pengangguran Muda Meningkat

Secara umum, tingkat ketenagakerjaan di AS masih terlihat stabil. Namun, stagnasi pasar kerja—dengan minimnya perekrutan dan pemutusan hubungan kerja—membuat lulusan baru kesulitan mencari pekerjaan. Tingkat pengangguran untuk usia 20 hingga 24 tahun tercatat sebesar 7,5 persen pada bulan lalu, naik dua poin dari titik terendah pada April 2023.

- Advertisement -
Baca Juga:  Google Rilis Gemini 2.5 Flash: Model AI Super Cepat dan Hemat Daya

Kecemasan Generasi Muda terhadap AI

Selain resesi, kekhawatiran terhadap kemajuan kecerdasan buatan (AI) turut memengaruhi keputusan banyak anak muda untuk kembali kuliah. Teknologi AI dinilai mampu menggantikan berbagai pekerjaan kantoran yang selama ini dianggap aman. Di saat yang sama, tren degree inflation, peningkatan standar pendidikan untuk pekerjaan level pemula kian nyata, terutama dalam kondisi ekonomi yang tidak bersahabat.

“Gelar master kini mulai menjadi syarat untuk pekerjaan entry-level,” ujar Sarah Thornton, mahasiswa program MBA daring di Louisiana State University.
Lulusan 2023 dari Coastal Carolina University ini mengaku telah melamar lebih dari 50 pekerjaan tanpa hasil, meskipun sudah beralih jurusan dari ilmu kelautan ke akuntansi.
“Saya bahkan tidak mendapat satu pun panggilan telepon,” keluhnya. “Rasanya seperti jalan buntu.”

- Advertisement -
Baca Juga:  Google Rilis Gemini 2.5 Flash: Model AI Super Cepat dan Hemat Daya

Langsung Kuliah Pascasarjana Setelah Lulus

Fenomena ini menggambarkan bahwa banyak anak muda kini terpaksa melewatkan fase bekerja dan langsung melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Bagi sebagian besar dari mereka, kuliah dianggap lebih realistis ketimbang menunggu peluang kerja yang tidak kunjung datang.

“Biasanya mahasiswa memilih bekerja dulu, membangun pengalaman, lalu melanjutkan studi. Tapi dengan kondisi pasar kerja saat ini, langsung kuliah terasa lebih masuk akal,” kata Kristen Willmott, direktur penerimaan pascasarjana di Top Tier Admissions.

Shyanne Martinez (25), mahasiswa pascasarjana di New Mexico State University, juga mengungkapkan bahwa kekhawatiran terhadap AI menjadi salah satu alasan utama ia memilih kuliah lagi. Meskipun memiliki pengalaman sebagai koordinator media sosial, ia kesulitan mendapatkan pekerjaan baru di bidang pemasaran.

“Sekarang kita bersaing dengan AI,” ujarnya. “Perusahaan ingin memangkas biaya, dan AI bisa melakukan banyak hal dengan lebih murah.”

Kuliah Lagi Bukan Tanpa Risiko

Meski menjadi pilihan populer, kuliah pascasarjana bukan tanpa risiko, terutama dari sisi finansial. Biaya pendidikan yang tinggi, khususnya di sekolah hukum dan bisnis, bisa membuat mahasiswa terjerat utang ratusan ribu dolar AS. Bunga pinjaman pascasarjana pun lebih tinggi, mencapai 9,08 persen untuk tahun ajaran 2024–2025, dibandingkan 6,53 persen untuk jenjang sarjana.

Baca Juga:  Google Rilis Gemini 2.5 Flash: Model AI Super Cepat dan Hemat Daya

“Penting untuk memiliki rencana jangka panjang yang jelas,” kata Amit Schlesinger, direktur eksekutif Kaplan. “Jangan sampai masuk program ini dan keluar dengan utang besar tanpa arah karier yang pasti.”

Namun demikian, banyak generasi muda merasa tidak punya banyak pilihan. Claire Speredelozzi (26), lulusan University of Massachusetts Boston pada 2022, sudah dua tahun mencoba mencari pekerjaan di bidang komunikasi. Karena hanya mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan restoran, ia akhirnya memutuskan mengambil pinjaman sekitar 30.000 dolar AS (sekitar Rp 480 juta) untuk kuliah di bidang arkeologi publik di Binghamton University.

“Pekerjaan entry-level saat ini menuntut pengalaman bertahun-tahun dan keahlian yang tidak dimiliki lulusan baru,” katanya. “Sekarang, gelar sarjana saja tidak cukup.”

- Advertisement -
Simak breaking news dan berita pilihan langsung di ponselmu. Ikuti WhatsApp Channel kami: Ikuti Sekarang
- Advertisement -

Baca Juga

Terpopuler

spot_img
TERKAIT

Baca Juga

TERKINI