Jakarta, LOGIC.co.id – Putusan banding terhadap Harvey Moeis yang memperberat hukuman menjadi 20 tahun penjara dengan denda Rp1 miliar dan uang pengganti Rp420 miliar menuai kritik tajam. Guru Besar Hukum Universitas Padjajaran, Romli Atmasasmita, menilai keputusan ini sebagai miscarriage of justice atau putusan sesat, mengingat banyaknya kejanggalan dalam pertimbangan hukum majelis hakim.
“Tidak terbukti adanya suap maupun gratifikasi, dan kerugian negara yang disebut dalam putusan bukan actual loss (kerugian nyata). Namun, hukuman Harvey Moeis justru diperberat secara drastis. Ini jelas tidak tepat,” tegas Romli, Kamis, 13 Februari 2025.
Putusan Tanpa Bukti Sah?
Romli menekankan bahwa uang pengganti Rp420 miliar yang dibebankan kepada Harvey Moeis tidak didukung bukti sah. Ia juga mempertanyakan dakwaan pemufakatan jahat yang selama persidangan tidak terbukti.
“Kasus ini seharusnya tidak masuk ranah tindak pidana korupsi berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999. Pelanggaran terhadap UU Pertambangan tidak serta-merta bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi,” jelasnya.
Menurut Romli, lonjakan hukuman dari 6,5 tahun menjadi 20 tahun, serta peningkatan uang pengganti dari Rp210 miliar menjadi Rp420 miliar, menunjukkan Harvey Moeis dianggap sebagai mastermind kasus ini. Padahal, fakta persidangan menunjukkan sebaliknya.
“Dia bukan pejabat negara, bukan direksi PT Timah, dan hanya terlibat dalam kontrak sewa smelter dengan warga sekitar tambang yang bukan penambang liar, melainkan memiliki hak turun-temurun,” tambahnya.
Selain itu, Romli menilai penggunaan Pasal 55 KUHP (penyertaan) terhadap Harvey Moeis tidak tepat. “Ia tidak bisa disebut aktor intelektual dalam kasus ini,” tegasnya.
Helena Lim Juga Jadi Korban?
Sementara itu, terdakwa lain, Helena Lim, seorang pengusaha money changer, dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti Rp900 juta.
Menurut Romli, baik Harvey Moeis maupun Helena Lim tidak memiliki mens rea (niat jahat) untuk menimbulkan kerugian negara sebesar Rp317 triliun. “Angka tersebut hanya berdasarkan perkiraan BPKP yang bertentangan dengan UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Negara,” paparnya.
Harusnya Kasus Perdata, Bukan Korupsi!
Pakar hukum acara dari Universitas Indonesia, Yoni Agus Setyono, menilai kasus ini lebih cocok diselesaikan melalui jalur perdata, bukan pidana korupsi.
“Kerugian negara dalam kasus ini masih diperdebatkan. Jika memang ada kerugian, mekanisme yang tepat adalah melalui gugatan perdata, bukan Tipikor,” ujar Yoni.
Menurutnya, UU Lingkungan Hidup memberi kewenangan bagi pemerintah untuk mengajukan gugatan perdata terhadap individu atau badan hukum yang dianggap merugikan negara. “Ini bukan pertama kalinya pemerintah memiliki legal standing dalam gugatan perdata. Bahkan, metode perhitungannya sudah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Tahun 2014,” jelasnya.
Jika tujuan hukum adalah mengembalikan kerugian negara akibat dampak lingkungan dari tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah, maka jalur perdata lebih memungkinkan, tambahnya. Ia pun menyarankan agar upaya hukum lanjutan dilakukan melalui Mahkamah Agung (MA).
“MA masih bisa membatalkan putusan ini jika memori kasasi menunjukkan adanya kekeliruan dalam penerapan hukum. Jika ini murni pelanggaran lingkungan, maka seharusnya ditangani berdasarkan UU Lingkungan Hidup, bukan UU Tipikor,” tandasnya.
Dengan vonis yang diperberat dari 6,5 tahun menjadi 20 tahun, serta denda dan uang pengganti yang membengkak, apakah Harvey Moeis benar-benar bersalah, atau justru menjadi korban dari putusan yang cacat hukum?