Jakarta, LOGIC.co.id – Nasib malang menimpa ribuan buruh Sritex. Sebanyak 8.400 karyawan resmi terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) massal hanya dua hari sebelum Ramadan 1446 H dimulai. Keputusan ini diambil kurator pada Rabu, 26 Februari 2025, tepat H-2 menjelang puasa, dan perusahaan tekstil raksasa itu akhirnya tutup permanen pada Sabtu, 1 Maret 2025. Keputusan ini merupakan buntut dari status pailit yang diterima Sritex dari Pengadilan Niaga Semarang akibat gugatan PT Indo Bharat Rayon.
Koordinator Serikat Pekerja Sritex Group, Slamet Kaswanto, tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi IX DPR RI di Kompleks Senayan, Jakarta, pada Selasa, 4 Maret 2025, ia mencurigai waktu PHK sengaja dipilih untuk menghindari pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR). “Kami merasa tidak enak hati. PHK ditetapkan dua hari sebelum puasa. Entah ini disengaja untuk mengelak dari THR atau bukan, saya tak tahu pasti,” ungkap Slamet dengan nada prihatin.
THR dan Hak Buruh Terancam
Slamet tak hanya mengeluhkan soal waktu PHK. Ia juga menyoroti ketidakpastian hak-hak buruh, termasuk THR, pesangon, dan gaji yang belum jelas nasibnya. Sritex, yang kini terlilit utang Rp32,6 triliun kepada kreditur, menghadapi situasi pelik karena rekening bank perusahaan telah diblokir oleh kurator. “Kurator yang memutus PHK, tapi mereka tak mau keluarkan uang. Manajemen bilang rekening sudah diblokir, padahal uangnya ada di sana,” keluhnya.
Kondisi ini membuat para buruh cemas. Jelang Ramadan, mereka tak hanya kehilangan pekerjaan, tetapi juga berpotensi tak mendapat hak yang seharusnya menjadi jaminan di masa sulit. Slamet pun memohon bantuan legislator Komisi IX DPR RI untuk mengawal kasus ini. “Kami laporkan soal THR ini. Kami mohon bapak-ibu terhormat di Komisi IX bantu awasi, agar THR bisa dibayar saat puasa ini,” pintanya dengan harap.
Pailit Sritex: Akhir Kisah Raksasa Tekstil
Kepailitan Sritex bermula dari ketidakmampuan perusahaan melunasi tagihan kreditur. Gugatan dari PT Indo Bharat Rayon menjadi pemicu akhir, hingga Pengadilan Niaga Semarang menetapkan status pailit. Penutupan operasional pada 1 Maret 2025 menandai berakhirnya perjalanan salah satu raksasa tekstil Indonesia, meninggalkan ribuan keluarga buruh dalam ketidakpastian.
Kini, sorotan tertuju pada langkah pemerintah dan kurator. Akankah hak-hak buruh, termasuk THR dan pesangon, dipenuhi di tengah blokirnya aset perusahaan? Pertanyaan ini terus bergema, sementara para buruh Sritex menanti keadilan di ambang bulan suci.