Depok, LOGIC.co.id – Polemik study tour SMAN 6 Depok berujung pencopotan kepala sekolah! Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi resmi menonaktifkan Kepala SMAN 6 Depok setelah sekolah tetap nekat memberangkatkan ratusan siswa ke Jawa Timur dan Bali, meskipun sudah ada larangan dari pemerintah provinsi.
Keputusan tegas ini langsung diteken Dedi di hari pertamanya menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat, usai dilantik pada Kamis (20/2/2025).
“Hari ini saya langsung kerja, dan sudah ada keputusan soal penonaktifan Kepala SMAN 6 Depok. Ia melanggar surat edaran gubernur yang melarang study tour ke luar provinsi,” ujar Dedi di Istana, Jakarta, Kamis (20/2/2025).
Tak hanya itu, Dedi juga memerintahkan Inspektorat untuk menyelidiki apakah ada pungutan liar yang dibebankan kepada siswa terkait keberangkatan study tour ini.
“Inspektorat sudah saya tugaskan untuk memeriksa apakah ada pungutan-pungutan di luar ketentuan dalam kegiatan ini,” tegasnya.
Menurut Dedi, pembenahan manajemen pendidikan di Jawa Barat menjadi prioritas utamanya.
“Masalah PIP, pungutan liar, dan study tour seperti ini sangat meresahkan masyarakat Jawa Barat. Saya tidak akan tinggal diam,” lanjutnya.
Tetap Berangkat Meski Dilarang, Ratusan Siswa ke Bali
Sebanyak 347 siswa kelas XI SMAN 6 Depok tetap berangkat study tour ke Surabaya, Malang, dan Bali selama delapan hari, dari Senin (17/2/2025) hingga Senin (24/2/2025).
Padahal, sebelumnya Dedi Mulyadi sudah meminta pihak sekolah untuk membatalkan kegiatan tersebut setelah mendapat laporan dari para wali murid mengenai biaya yang dinilai terlalu tinggi.
“Saya sudah meminta Kepala SMAN 6 Depok untuk tidak menggelar study tour ini,” ujar Dedi saat dikonfirmasi, Sabtu (15/2/2025).
Dedi mengungkapkan, pihak sekolah membebankan biaya sekitar Rp3,5 juta per siswa. Jika ditambah dengan uang jajan, wali murid diperkirakan harus mengeluarkan hingga Rp5,5 juta per anak.
Menurut Dedi, konsep study tour seharusnya bisa dilakukan di dalam kota tanpa membebani orang tua siswa.
“Sampah di Depok itu masalah besar, harusnya bisa dijadikan bahan studi. Siswa jurusan Biologi atau IPA bisa belajar tentang pengelolaan limbah dan penguraian sampah dengan konsep Reduce, Reuse, Recycle, Replace (R4),” jelasnya.
Namun, pihak sekolah tetap memberangkatkan siswa dengan alasan bahwa persiapan sudah matang dan keputusan diambil setelah mendapat persetujuan dari wali murid.
Humas SMAN 6 Depok, Syahri Ramadhan, mengatakan bahwa imbauan dari Dedi muncul hanya dua hari sebelum keberangkatan.
“Imbauan dari Pak Dedi viral hanya satu hari sebelum keberangkatan, jadi sulit untuk membatalkan,” ujar Syahri.
Pihak sekolah mengklaim telah berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Jawa Barat dan menyampaikan kronologi persiapan study tour yang sudah dirancang sejak akhir tahun lalu.
Bantahan Soal Biaya dan Tujuan Bali
Syahri menegaskan bahwa perjalanan ini bukan sekadar wisata, melainkan kunjungan akademik ke empat perguruan tinggi di Surabaya dan Malang.
Selain itu, siswa juga menginap di Desa Kungkuk, Batu, Malang, untuk melakukan observasi lingkungan dan budaya.
“Jadi mereka tinggal di rumah penduduk desa, ikut bertani, beternak, dan melakukan penelitian lingkungan,” jelasnya.
Syahri juga menampik tudingan bahwa study tour ini lebih banyak unsur wisatanya.
“Bali hanya menjadi destinasi terakhir setelah agenda akademik di Jawa Timur selesai,” katanya.
Terkait biaya, Syahri membantah pernyataan Dedi Mulyadi bahwa total biaya mencapai Rp5,5 juta per siswa.
“Biaya resmi study tour hanya Rp3,8 juta, dan itu sudah mencakup seluruh kebutuhan perjalanan. Bahkan jika siswa tidak membawa uang saku, mereka tetap bisa mengikuti seluruh kegiatan,” pungkasnya.
Polemik Study Tour: Kebijakan atau Kontroversi?
Kasus SMAN 6 Depok ini kembali memicu perdebatan luas di kalangan masyarakat.
Sebagian mendukung langkah tegas Dedi Mulyadi dalam menertibkan sekolah-sekolah yang dianggap membebani orang tua dengan biaya study tour yang mahal. Namun, sebagian lainnya menilai bahwa pemerintah seharusnya lebih bijak dalam menerapkan aturan dan mempertimbangkan kesiapan sekolah sebelum mengeluarkan larangan mendadak.
Apakah kebijakan ini akan berdampak pada sekolah-sekolah lain di Jawa Barat? Atau justru menimbulkan kontroversi baru?
Bagaimana pendapat Anda?