LOGIC.co.id – Pemerintah Palestina mengecam keras keputusan Parlemen Israel (Knesset) yang menyetujui rancangan undang-undang (RUU) untuk mengganti nama Tepi Barat menjadi Yudea dan Samaria. Langkah ini dinilai sebagai bagian dari upaya aneksasi wilayah Palestina secara penuh.
Dalam pernyataan resminya, Kementerian Luar Negeri Palestina menegaskan bahwa keputusan ini merupakan eskalasi berbahaya yang semakin mengancam upaya perdamaian di kawasan.
“RUU ini membuka jalan bagi aneksasi penuh Tepi Barat, penerapan hukum Israel secara paksa, serta pelemahan sistematis terhadap kemungkinan pembentukan negara Palestina dan penyelesaian konflik secara damai,” demikian pernyataan Kemlu Palestina, dikutip dari Anadolu Agency, Selasa (11/2/2025).
Palestina Minta Intervensi Internasional
Kemlu Palestina menegaskan bahwa peraturan ini tidak memiliki legitimasi hukum dan bertentangan dengan hukum internasional serta resolusi PBB.
“Keputusan ini merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional dan berisiko mengancam stabilitas regional serta global,” lanjut pernyataan tersebut.
Pada 29 Januari lalu, Knesset telah menyetujui pembacaan awal RUU yang memungkinkan pemukim ilegal Israel untuk mendaftarkan tanah di Tepi Barat atas nama mereka.
Sebagai respons, Palestina meminta intervensi internasional untuk mencegah perubahan status politik dan hukum wilayah yang diakui secara internasional sebagai bagian dari negaranya. Selain itu, Palestina juga mendesak negara-negara lain untuk meninjau hubungan diplomatik mereka dengan Israel, berdasarkan kepatuhannya terhadap hukum internasional.
Israel Disebut Mempersiapkan Aneksasi Penuh
Warga Palestina dan kelompok sayap kiri Israel menilai bahwa pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu semakin mempercepat langkah-langkah penerapan hukum Israel di Tepi Barat sebagai persiapan untuk aneksasi penuh.
Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah menteri Israel, termasuk Netanyahu, secara terbuka menyatakan niat mereka untuk mencaplok Tepi Barat, yang telah berada di bawah pendudukan Israel sejak 1967.
Kondisi ini memicu kekhawatiran di kalangan komunitas internasional bahwa eskalasi konflik di Palestina dapat semakin memburuk.