Jakarta, LOGIC.co.id – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia melontarkan pernyataan kontroversial saat berbicara di hadapan mahasiswa dalam Simposium Demokrasi dan Deklarasi Pemilu Damai di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Sabtu (23/12). Ia bercanda bahwa mahasiswa yang kini mengkritik oligarki bisa saja menjadi lebih “jahat” darinya jika kelak memiliki jabatan atau kekayaan.
“Saya mau menyampaikan ke kalian, jangan coba-coba bilang kita ini oligarki. Tunggu saja, begitu kalian jadi pejabat, jadi orang kaya, mungkin kelakuan kalian akan lebih jahat dari saya,” ujar Bahlil, dikutip dari akun YouTube Prodewa, Minggu (24/12).
Pernyataan itu disampaikan Bahlil dengan nada bercanda, tetapi sarat makna. Ia mengingatkan bahwa banyak orang yang awalnya mengkritik pejabat, namun ketika berkuasa justru ikut menikmati berbagai fasilitas dan keuntungan dari jabatan tersebut.
Dulu Benci Pengawalan, Sekarang Malah Nyaman
Dalam kesempatan itu, Bahlil juga bercerita bagaimana pandangannya terhadap kekuasaan berubah seiring waktu. Ia mengaku bahwa saat masih menjadi aktivis, dirinya marah melihat mobil pejabat yang melintas dengan pengawalan ketat. Bahkan, ia pernah berpikir untuk melempari mobil-mobil tersebut.
Namun, setelah menjadi pejabat dan memiliki fasilitas serupa, ia merasakan kenyamanan yang dulu dikritiknya.
“Dulu kita mau makan bakso saja sudah senang, sekarang bisa makan di restoran bintang lima. Dulu benci lihat pejabat dengan pengawal, sekarang setelah punya pengawal, wah ternyata enak juga barang ini,” kata Bahlil sambil tertawa.
Ia juga mengingatkan mahasiswa bahwa kekayaan dan jabatan bisa memicu kecemburuan, bahkan menjadi pemicu berbagai fitnah di dunia politik.
“Memang barang-barang enak ini membuat cemburu semua orang. Makanya kalau ada partai yang masih ingin berkuasa tapi tiba-tiba tidak bisa, lalu muncul fitnah macam-macam, ya wajar saja,” ujarnya.
Sindiran atau Kejujuran?
Pernyataan Bahlil ini memicu beragam reaksi. Ada yang menilai ucapannya sebagai bentuk kejujuran tentang realitas kekuasaan di Indonesia, tetapi ada juga yang menganggapnya sebagai sindiran bagi mereka yang sering mengkritik pemerintah.